Dekolonisasi Kebijakan Repatriasi Koleksi Indonesia di Belanda dalam Pemajuan Wacana Global Warisan Budaya yang Adil dan Inklusif

Main Article Content

Made Naraya Sumaniaka

Abstract

Walaupun perjuangan untuk mengembalikan cagar budaya dengan konteks kolonial sudah dilakukan sejak 1949, kerja sama kebijakan repatriasi antara Indonesia dan Belanda secara intensif mulai dilakukan pada tahun 2020. Dalam proses implementasi kebijakan repatriasi, terdapat isu-isu seperti perdebatan pada koleksi tertentu, ketidakseimbangan dalam penelitian provenans, serta rendahnya inklusivitas terhadap masyarakat asal yang dapat menjadi jebakan neokolonialisme baru. Kebijakan repatriasi antara Indonesia dan Belanda saat ini menitikberatkan pada hubungan antara negara dengan proses government-to-government sehingga menutup kemungkinan adanya partisipasi publik dan masyarakat asal dalam proses repatriasi.


Dengan melihat repatriasi sebagai kebijakan transnasional, penelitian ini menganalisis kebijakan repatriasi yang melampaui peran dimensi negara tetapi juga pada aktor non-negara baik dalam lingkup internasional dan lokal. Penelitian ini akan menggunakan konsep transnasionalisme metodologis dengan tiga kerangka dasar yaitu (1) interkonektivitas jaringan, (2) seleksi instrumen, dan (3) efektivitas global. Penelitian ini juga akan menganalisis kebijakan repatriasi Indonesia dan Belanda dalam kerangka hukum internasional mengenai perlindungan cagar budaya.


Pada interkonektivitas jaringan, pemetaan global network society pada berbagai platform media sosial dilakukan dan ditemukan berbagai gerakan akar rumput dan inisiatif dari komunitas epistemik yang mendorong upaya repatriasi. Dalam seleksi instrumen, perkembangan konsep kepemilikan warisan budaya ditelusuri beserta analisis perbedaan penggunaan istilah repatriasi oleh pihak Indonesia dan restitusi oleh pihak Belanda. Dalam efektivitas global, disoroti berbagai pendekatan mengenai warisan budaya yang didominasi oleh dikotomi antara nasionalisme dan internasionalisme budaya. Selain itu, ditelusuri alternatif lainnya seperti pendekatan hak asasi manusia dalam mengakses budaya serta epistemologi lokal dalam melihat warisan budaya dalam konteks kearifan lokal itu sendiri seperti pusaka, pratima, harto pusako, dan lain-lain.


Penelitian ini menunjukkan bahwa spirit dekolonisasi harus berada dalam proses repatriasi untuk menghadapi ketidakadilan sejarah dengan mengutamakan partisipasi yang bermakna dari masyarakat asal. Kendati kerangka hukum internasional membatasi repatriasi cagar budaya dalam konteks kolonial, norma dan rezim internasional yang menitikberatkan pada hak masyarakat asal untuk mengakses budayanya terus berkembang.


Indonesia berada dalam sorotan dunia internasional mengenai repatriasi cagar budaya dalam konteks kolonial. Walaupun pengembalian tengah dilakukan, proses yang eksklusif antar dua pemerintah menutup dialog dan partisipasi yang bermakna dari masyarakat asal. Pelibatan masyarakat asal sebagai spirit dekolonisasi akan membantu tidak hanya pada produksi pengetahuan tetapi juga pada kokreasi makna dari cagar budaya yang di-repatriasi. Dengan mengupayakan pada pelibatan dialog dengan masyarakat asal serta penciptaan narasi yang multivokal terhadap cagar budaya yang akan dan telah di-repatriasi sebagai strategi dekolonisasi, Indonesia dapat turut berkontribusi pada pemajuan wacana global terhadap warisan budaya yang lebih adil dan inklusif.

Article Details

How to Cite
Dekolonisasi Kebijakan Repatriasi Koleksi Indonesia di Belanda dalam Pemajuan Wacana Global Warisan Budaya yang Adil dan Inklusif. (2025). Research Database PPI Belanda, 1(01). https://jurnal.ppibelanda.org/index.php/jppib/article/view/48
Section
Work in Progress Articles

How to Cite

Dekolonisasi Kebijakan Repatriasi Koleksi Indonesia di Belanda dalam Pemajuan Wacana Global Warisan Budaya yang Adil dan Inklusif. (2025). Research Database PPI Belanda, 1(01). https://jurnal.ppibelanda.org/index.php/jppib/article/view/48