Menavigasi Indigeneitas: Pemberdayaan, Pemanfaatan, dan Perjuangan Hak Ulayat Komunitas Adat Minoritas Suku Anak Dalam (Orang Rimba) di Sumatra, Indonesia
Main Article Content
Abstract
Penelitian ini menganalisis konsep “Indigeneitas” atau “indigeneity” yang sering diasosiasikan dengan komunitas adat minoritas di Indonesia, yang dalam perspektif Barat dikenal sebagai "indigenous peoples". Fokus utama adalah menganalisis hubungan antara konsep “Indigeneitas” dan perjuangan hak ulayat (hak atas tanah) dalam konteks pluralisme hukum pada komunitas Suku Anak Dalam (SAD), atau Orang Rimba, di Jambi, Sumatera, Indonesia. Orang Rimba memiliki keterikatan mendalam dengan tanah leluhur mereka dan menjalani kehidupan tradisional sebagai pemburu dan pengumpul dalam komunitas kecil di sepanjang aliran sungai di hutan mereka (Persoon & Wardhani, 2017). Namun, deforestasi dan ekspansi perkebunan kelapa sawit telah mengubah habitat mereka (Sandbukt & WARSI, 1998). Dahulu, Orang Rimba tidak mengenal konsep kepemilikan tanah berbasis sertifikat. Cara hidup nomaden mereka menyulitkan identifikasi batas kepemilikan tanah, sehingga salah satu cara yang digunakan adalah melalui kepemilikan pohon tertentu sebagai konsensus baru dalam sistem hak ulayat mereka (Idris, 2023).
Pada masa penjajahan Belanda, masyarakat adat minoritas di Indonesia memiliki hak penuh atas tanah mereka melalui sistem kepemilikan kelompok atau klan. Namun, hal ini bergeser total di bawah kepemimpinan Soeharto pada Orde Baru melalui Hukum Agraria tahun 1960, yang menyatakan bahwa seluruh tanah yang tidak memiliki sertifikat resmi otomatis menjadi milik negara (Acehnese, 2024). Ini berdampak buruk pada masyarakat adat minoritas, termasuk Orang Rimba, yang kehilangan akses penuh terhadap sumber daya alam, menyebabkan pengambilalihan lahan oleh perusahaan untuk pertanian seperti kelapa sawit dan karet (Sandbukt & WARSI, 1998). Dinamika ini menemui titik terang hingga pasca-reformasi 1998, di mana pengakuan hak ulayat kembali diperjuangkan. Meskipun sudah ada aturan hukum, pelaksanaannya tetap menghadapi tantangan besar akibat penyalahgunaan kekuasaan oleh elit lokal serta dinamika sosial antar wilayah komunitas (Urano, 2014). Data yang dipaparkan oleh Aliansi Masyarakat Nusantara (AMAN), mengungkapkan bahwa hanya sekitar 7,5% dari total 20 juta hektar wilayah hak ulayat adat di Indonesia yang secara resmi telah diakui oleh negara.
Isu hak ulayat bagi masyarakat adat minoritas tidak dapat dipisahkan dari pluralisme hukum, yang melibatkan berbagai tingkatan hukum, mulai dari tingkat internasional seperti PBB dan ILO Convention 169, hukum nasional Indonesia hingga hukum adat. Hukum-hukum tersebut dapat diterapkan jika masyarakat adat minoritas memenuhi kriteria “Indigeneitas” yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, konsep “Indigeneitas” menjadi sangat penting karena identitas ini berfungsi sebagai elemen politik dalam perjuangan mereka untuk memperoleh pengakuan resmi atas hak ulayat. Selain itu, munculnya aktor eksternal yang memanfaatkan identitas politik masyarakat adat minoritas untuk berbagai kepentingan, termasuk praktik-praktik merugikan seperti pembakaran hutan dan perampasan hak atas tanah, patut juga untuk dicatat (Idris, 2023). Penelitian ini meneliti bagaimana Orang Rimba dan juga aktor eksternal menggunakan identitas politik dari konsep “Indigeneitas” terkait hak ulayat melalui berbagai sistem hukum atau pluralisme hukum. Penelitian ini menyoroti tantangan implementasi pengakuan hak tanah, seperti diungkapkan oleh Benda-Beckmann (2002), yang menunjukkan kelompok marginal menggunakan strategi "forum shopping". Pendekatan ini menggambarkan kebebasan masyarakat adat dalam menavigasi hukum adat mereka dalam konteks nasional dan internasional, serta mengidentifikasi sejauh mana Orang Rimba dapat mempertahankan kontrol dan akses penuh terhadap hak tanah setelah pengakuan kembali.
Penelitian ini akan menggunakan pendekatan kualitatif etnografis untuk mengeksplorasi dinamika perjuangan hak tanah Orang Rimba. Metode ini memungkinkan peneliti terlibat dalam pengalaman masyarakat adat (Hammersley & Atkinson, 2007) melalui observasi langsung, wawancara mendalam, dan wawancara semi-terstruktur. Observasi memungkinkan pengamatan jangka panjang terhadap dinamika sosial, sementara wawancara disesuaikan dengan isu hak tanah melalui pluralisme hukum. Tentunya, pendekatan etnografis yang memungkinkan peneliti dapat terlibat dalam suatu setting sosial suatu masyarakat tertentu memungkinkan untuk memahami bagaimana pengetahuan dapat diproduksi (Bernard, 2017). Analisis literatur dan dokumen juga dilakukan untuk memahami sistem hukum yang mempengaruhi hak tanah ulayat di Indonesia. Penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi signifikan terhadap pengembangan hak ulayat bagi komunitas suku minoritas di Indonesia. Hasil pertama adalah pemahaman mendalam tentang cara Orang Rimba memanfaatkan identitas “Indigeneitas” dalam pluralisme hukum untuk memperoleh hak atas tanah. Selanjutnya, hasil identifikasi terhadap berbagai tantangan yang dihadapi Orang Rimba dalam mempertahankan akses dan hak pengelolaan tanah setelah pengakuan kembali juga sangat bermanfaat untuk masyarakat adat dalam menyusun strategi efektif untuk mengatasinya. Hasil akhir dari penelitian ini juga dapat dijadikan sebagai bahan rekomendasi bagi para pemangku kepentingan yang berkenaan langsung tidak hanya bagi Orang Rimba namun juga bagi mayarakat adat lainnya di seluruh Indonesia yang menghadapi isu serupa.
Article Details

This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License.
How to Cite
References
Benda-Beckmann, F. von. (2002). Who’s Afraid of Legal Pluralism? The Journal of Legal Pluralism and Unofficial Law, 34(47), 37–82.
Bernard, H. R. (2017). The literature research. In Research methods in anthropology: Qualitative and quantitative approaches. (pp. 96-108). Altamira press, Rowman & Littlefield
Fahmi (Acehnese), C. (2024). The application of international cultural rights in protecting Indigenous peoples’ land property in Indonesia. AlterNative: An International Journal of Indigenous Peoples, 20(1), 157–166. https://doi.org/10.1177/11771801241235261
Hammersley, M., & Atkinson, P. (2007). Ethnography: Principles in Practice (3rd ed.). Routledge.
Idris Sardi , R. A. K., Budi Setiawan , Djuara P. Lubis , Nuraini Nuraini (2023). "Understanding the Dynamics of Control and Access to Natural Resources by the "Orang Rimba" Community in Jambi, Indonesia (A Case Study in Air Hitam SubRegency)."
Persoon, G. (2017). Heritage and Rights of Indigenous Peoples: Projected Future for the Orang
Rimba of Sumatra (Indonesia). Archaeological Studies Leiden University. (pp.61-75) and part of Chapter 3.
Sandbukt, & WARSI. (1998). Orang Rimba: Needs Assessment for Resource Security and Development: The World Bank and the Government of Indonesia. Jambi: Warsi.
Urano, M. (2014). Impacts of newly liberalised policies on customary land rights of forest‐dwelling populations: A case study from East Kalimantan, Indonesia. Asia Pacific Viewpoint, 55(1), 6–23. https://doi.org/10.1111/apv.12042