Pelestarian Arsitektur dan Pembangunan Jati Diri Bangsa di Indonesia sejak 1945

Main Article Content

Ahmad Allam

Abstract

Pelestarian arsitektur di Indonesia telah ada sejak masa kolonial, jauh sebelum negara ini berdiri. Pada akhir abad ke-18, orang Eropa mulai melakukan pendokumentasian objek arsitektur di daerah-daerah tempat di mana Indonesia saat ini ada yang kemudian menjadi lebih intens pada masa Interegnum Britania Raya di Hindia Belanda (1811-15). Kegiatan pelestarian arsitektur masa kolonial memberikan warisan besar bagi Indonesia, yakni tipologi warisan arsitektur Indonesia yang terdiri atas arsitektur tradisional, Hindu-Buddha, Islam, Peranakan/Asia, dan Eropa . Lebih jauh, undang-undang keluaran pemerintah Hindia Belanda tentang perlindungan cagar budaya, “Monumenten-ordonnantie” (MO 1931), tetap dipakai sampai 1992 – empat puluh tujuh tahun setelah kemerdekaan Indonesia pada 1945.


Setelah kemerdekaan, kegiatan pelestarian arsitektur tetap berlangsung sebagai bagian dari penciptaan identitas dan kebanggaan bangsa, serta mencerminkan konteks sosio-budaya yang lebih luas. Pada 1980 s. d. 1990-an, cendekia dan praktisi arsitektur ramai melakukan pencarian identitas arsitektur Indonesia, sehingga muncul divergensi perhatian ke beragam bentuk arsitektur dan pelestariannya. Pada masa itu pula, masing-masing warisan arsitektur memiliki peminat masing-masing. Pada akhir 1990-an, Indonesia mengalami reformasi politik yang berakibat pada perubahan mendasar pada masyarakat: warga Tionghoa Indonesia mulai diperbolehkan menunjukkan karakter budayanya; pemerintah daerah mendapatkan porsi yang lebih banyak dalam mengatur wilayahnya; dan masyarakat bisa lebih bebas mendirikan organisasi. Selanjutnya, pelestarian dan studi mengenai arsitektur tradisional yang bercorak kedaerahan mulai berkembang, upaya pemerintah daerah dalam pelestarian arsitektur meningkat, warisan arsitektur Tionghoa Peranakan mendapatkan perhatian yang sebelumnya dipinggirkan, dan banyak organisasi masyarakat yang berminat pada pelestarian arsitektur tumbuh subur. Di era yang sama, pihak asing juga mulai memainkan peran yang lebih signifikan, terutama yang berasal dari Belanda yang menyokong kegiatan-kegiatan dalam payung “shared heritage”. Van Roosmalen  mencatat bahwa ada proses yang berkelindan antara tren dekolonisasi sejarah di Belanda dan upaya pelestarian arsitektur Eropa di Indonesia.


Bisa dikatakan bahwa kegiatan pelestarian arsitektur di Indonesia bersifat sporadis ini, setidaknya, memiliki keragaman karakter warisan dan aktor. Di sisi lain, praktik heritage tidak akan bisa dipisahkan dalam konteks sosio-budaya dan proses pembangunan jati diri bangsa (nation-building). Sayangnya, sejarah pelestarian arsitektur dan kaitannya dengan konteks dan proses tersebut belum dikaji secara komprehensif. Dengan demikian, Penelitian ini bertujuan untuk menginvestigasi sejarah dan perkembangan konservasi arsitektur di Indonesia sejak tahun 1945 dan kaitannya dengan proses pembangunan jati diri bangsa (nation-building).


Penelitian menggunakan metode penelitian sejarah. Pendekatan kesejarahan cocok untuk memahami kompleksitas masyarakat dengan ”mengenali kekhasan masa silam dan menawarkan interpretasi berdasarkan bukti-bukti yang ada”.  Penelitian ini menggunakan metode penelitian yang disusun oleh Sager dan Rosser  karena metode tersebut relatif baru dan ditujukan untuk penelitian sejarah sosial. Metode ini terdiri atas lima tahap: 1) mendefinisikan subjek, 2) mengidentifikasi sumber/data, 3) mereviu state of the arts, 4) mengklasifikasi dan memverifikasi data primer, 5) menemukan kesimpulan berdasarkan pola yang ditemukan dalam sumber/data. Data/sumber primer dalam penelitian ini antara lain arsip (misalnya, laporan kegiatan, notulen, press release), berita, fotografi, dll. Selain itu, penelitian ini juga akan menggali informasi lisan dari pelaku pelestarian arsitektur, seperti pemilik bangunan, arsitek, akademisi, pegawai pemerintah, ahli arkeologi, perencana kota, filantropis, dan pegiat komunitas. Hasil dari penelitian ini adalah historiografi pelestarian arsitektur di Indonesia sejak 1945.


Mengingat semakin banyaknya bangunan warisan budaya dan kegiatan pelestarian arsitektur di Indonesia dalam beberapa tahun belakangan, penelitian ini menjadi penting untuk membangun dasar keilmuan pelestarian arsitektur. Tanpa ada sejarah pelestarian arsitektur di Indonesia, bangsa dan negara Indonesia akan selalu mengimpor metode dan pelaku pelestarian arsitektur. Lebih lanjut, penelitian ini juga bagian dari penulisan sejarah ilmu pengetahuan di Indonesia yang secara umum bermanfaat untuk menunjukkan bahwa bangsa Indonesia bukan bangsa kemarin sore dalam ilmu pengetahuan.


Ditinjau dari aspek keilmuan, penelitian ini bermanfaat bagi wacana (discourse) heritage. Pertama, Indonesia memiliki beragam lapisan sejarah, etnik lokal, dan jejak peradaban dunia. Negara-negara yang kini semakin heterogen dan plural dapat memetik pelajaran dari pengalaman Indonesia dalam mengelola kekayaan dan kompleksitas budaya, terutama yang terkait dengan warisan arsitektur. Kedua, sebagai negara yang pernah mengalami kolonialisme, Indonesia memiliki banyak warisan arsitektur kolonial yang, suka atau tidak suka, membawa ketegangan dalam wacana identitas arsitektur suatu bangsa. Yang menarik, banyak dari bangunan warisan kolonial di Indonesia dilestarikan dan menjadi identitas lokal bagi masyarakat. Memahami motivasi di balik usaha konservasi tersebut tentu merupakan kontribusi bagi wacana pascakolonial di tingkat global.

Article Details

How to Cite
Pelestarian Arsitektur dan Pembangunan Jati Diri Bangsa di Indonesia sejak 1945. (2025). Research Database PPI Belanda, 1(01). https://jurnal.ppibelanda.org/index.php/jppib/article/view/19
Section
Work in Progress Articles

How to Cite

Pelestarian Arsitektur dan Pembangunan Jati Diri Bangsa di Indonesia sejak 1945. (2025). Research Database PPI Belanda, 1(01). https://jurnal.ppibelanda.org/index.php/jppib/article/view/19

References

Sudradjat, I. (1991). A study of Indonesian architectural history. Doctor of Philosophy’s thesis. Sydney, Australia: The University of Sydney.

Van Roosmalen, P. K. (2013). Confronting built heritage: Shifting perspectives on colonial architecture in Indonesia. Architecture Beyond Europe Journal, 3.

Galgano, M. J., Arndt, C. J., & Hyser, R. M. (2008). Doing history: Research and writing in the digital age. Boston, Massachusetts, United States: Thomson Wadsworth.

Sager, F., & Rosser, C. (2015). Historical Methods. In M. Bevir, & R. Rhodes (Eds.), The Routledge Handbook of Interpretive Political Science (pp. 199-210). London/New York: Routledge.